
Bisa mengenyam pendidikan di luar negeri memang menjadi impian banyak orang. Apalagi, bisa diraih secara gratis atau lewat beasiswa dan istimewanya lagi bisa kuliah di kampus ternama. Agaknya, itu pulalah yang pernah diraih oleh Prima Roymei Tampubolon, 12 tahun silam. Seperti apa kisahnya?
Berawal dari keinginan untuk bisa jalan-jalan keluar negeri, akhirnya mengantarkan wanita yang akrab disapa Prima untuk mendapatkan beasiswa S2 dalam program Australian Development Scholarship (ADS) di Negara Kanguru. Program beasiswa ADS sendiri, merupakan kerja sama antara Pemerintah Indonesia dan Australia.
“Saat itu, saya baru diterima menjadi PNS guru bidang studi Kimia di salah satu SMA Negeri di Kabupaten Sumba Barat tahun 2009 lalu. Awalnya saya diajak salah seorang teman untuk ikut seleksi beasiswa ADS tersebut,” kata perempuan kelahiran Pematang Siantar 8 Mei 1979 tersebut.
Sebetulnya, kata dia, sempat ada keraguan di dalam hati untuk mengikuti seleksi ADS tersebut. Selain harus melewati proses seleksi yang panjang, kata dia, juga harus bersaing dengan ribuan ASN dari tingkat kementerian, dosen dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang kemampuannya tidak diragukan lagi.
Namun, karena keinginan yang kuat untuk bisa jalan-jalan ke luar negeri memacu semangatnya kembali. Bagi dia, peluang tidak datang dua kali. Kesempatan tersebut, mesti dipergunakan dengan sebaik mungkin. Kala itu, dirinya juga masih lajang alias belum berkeluarga. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak mencoba.
Usai mengikuti seleksi awal dengan melampirkan sertifikat Toefel minimal nilai 500. Dia melanjutkan seleksi tahapan menjawab essai yang kemudian jawabannya dikirimkan langsung ke kantor perwakilan yang ada di Jakarta. Menurut dia, jawaban yang diberikan di dalam essai merupakan penentu untuk bisa ke tahap berikutnya.
“Ada 4.000 peserta yang mengikuti seleksi beasiswa ADS tersebut. Sementara, yang akan diterima hanya sebanyak 300 orang. Ketika menuangkan ide-ide di dalam essai saya membuat se-original dan se-inovatif mungkin. Dan akhirnya saya bisa lolos dan menyisihkan sebanyak 3.700 peserta lainnya,” ujarnya.
Meski sudah dinyatakan lolos, perjuangan suami dari Duddy A. R Sinaga ini untuk sampai di Monash University, Melbourne, Australi, kala itu masih terus berlanjut. Tahap berikutnya, yakni, tes wawancara yang dilaksanakan di Kupang, Ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jarak dari Kupang ke Sumba Barat waktu itu perjalanan laut ditempuh memakan waktu 3 hari.
“Solusinya, mesti menggunakan pesawat terbang dan transit di Denpasar, Bali. Waktu itu, jadwal pesawat tidak setiap hari. Penumpang pesawat juga terbatas, karena kondisi pesawat relatif kecil. Saya, nyaris tidak bisa ikut seleksi wawancara, karena tidak kebagian tiket pesawat. Saya menunggu di bandara dan berharap ada penumpang yang membatalkan keberangkatan mereka,” tutur perempuan yang menamatkan pendidikan S1 di Universitas Sumatera Utara (USU) tahun 2003 ini.
Benar saja. Tuhan mengabulkan harapannya. Ternyata, ada seorang penumpang yang membatalkan keberangkatannya dan dapat digantikan oleh dirinya. Yang pada akhirnya, dia sampai di Kupang dan bisa mengikuti tahapan wawancara.
Menurut dia, tahapan wawancara ini juga merupakan momen yang cukup menegangkan. Di mana, ada tiga penguji yang berasal dari perwakilan Monash University sendiri, perwakilan dari Universitas yang ada di Indonesia dan perwakilan pemerintah Indonesia.
Usai dinyatakan lulus dalam tahapan seleksi wawancara, tahapan selanjutnya yakni, dia harus mengikuti tahapan persiapan keberangkatan selama 3 bulan di Bali. Di dalam rentang waktu 3 bulan tersebut, dia bersama ratusan calon mahasiswa lainnya dipersiapkan untuk mematangkan bahasa Inggris dan diperkenalkan budaya Australi agar nantinya mudah beradaptasi.
“Tujuan akhir dari tahapan persiapan ini, bagaimana peserta bisa lulus tes IELTS salah satu tes yang diwajibkan sebelum memasuki Universitas di Australia. Dengan segala persiapan yang panjang, akhirnya di akhir tahun 2010 saya berangkat ke Australia, tepatnya di negara bagian Victoria. Saya belajar di Monash University untuk program S2 jurusan leadership Policy and Change,” kata penyandang gelar Master of Education ini.
Setelah menyelesaikan kuliah pada tahun 2012, dirinya menikah dan pindah tugas ke Mentawai mengikuti suaminya yang juga sebagai ASN di Mentawai. Dan kini, Prima mengabdi di SMAN 2 Sipora dalam bidang studi yang sama.
Bagi dia, ke depan, tidak menutup keinginan untuk melanjutkan jenjang pendidikan S3-nya. Namun, saat ini, dia memilih fokus untuk pengabdiannya sebagai tenaga pengajar di SMAN 2 Sipora.
“Kemungkinan untuk lanjut S3 tetap ada. Untuk saat ini, keinginan tersebut, saya salurkan lewat tetap mengajar di SMAN 2 Sipora dan mendukung suami yang kini tengah menempuh pendidikan S3 di Universitas Andalas serta menemani anak-anak belajar di rumah,” pungkasnya sembari tersenyum. (*)
Artikel ini bersumber dari : padek.jawapos.com.