KBR, Jakarta – Lembaga kajian ekonomi INDEF menegaskan, upah pekerja atau buruh sudah patut dinaikkan. Alasannya, pasca-kenaikan harga BBM, daya beli pekerja terancam menurun jika upah yang didapat stagnan, sementara harga-harga komoditas lainnya melonjak akibat efek domino kenaikan harga BBM.
Berikut, wawancara Jurnalis KBR Resky Novianto dengan Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad, pada Jumat (9/9/2022):
Apakah kenaikan upah pekerja bisa jadi solusi menjaga ekonomi masyarakat yang terimbas kenaikan harga BBM?
Saya kira sangat mungkin. Kenaikan upah pekerja itu kan mendorong konsumsi masyarakat agar tetap tinggi sehingga kalau ada upah naik yang diharapkan mereka bisa meredam dampak kenaikan harga-harga BBM. Tetapi memang waktunya harus disesuaikan. Karena upah itu keputusannya, katakanlah menjelang akhir tahun dan berlakunya kan biasanya awal tahun. Karena sesuai perhitungan dari keputusan pemerintah, saya kira memang harus naik upah itu. Karena kalau upah tidak naik, itu pasti secara riil pendapatan turun. Kalau pendapatan turun maka konsumsi turun sehingga ekonomi akan turun. Nah pendorong ekonomi adalah kenaikan upah. Tapi kenaikan upah yang terlalu tinggi juga menyebabkan biaya yang cukup tinggi bagi para pelaku usaha. Artinya mereka mungkin pada akhirnya produksinya dikecilkan, atau harga jual produk akan tambah besar. Risikonya adalah produk terlalu mahal, naik tiba-tiba, akhirnya produknya tidak ada yang beli. Dan ini sangat sulit. Jadi memang harus dilihat secara komprehensif, berapa tingkat upah yang tidak menimbulkan cost terlalu tinggi dalam pembiayaan atau struktur cost dari sebuah industri atau bisnis.
Berapa persen kenaikan upah yang sesuai untuk menjaga daya beli masyarakat?
Inflasi kan beragam di detiap daerah, jadi secara nasional kan diperkirakan sampai akhir tahun bisa 6,5 sampai 7 persen. Jadi karena situasi seperti ini ya mau enggak mau agar para pekerja juga lebih save, mereka bisa kenaikannya paling tidak sama dengan inflasi.
Jika upah hanya naik sedikit, seperti apa dampaknya?
Saya kira, yang pertama tentu saja pekerja akan kehilangan daya beli. Ketika kehilangan daya beli, pekerja akan membuat atau berakibat pada pengeluaran mereka bisa lebih rendah dari pendapatan mereka. Mereka akhirnya enggak punya simpanan dan sebagainya. Ketika daya beli rendah, ya tentu kemampuan konsumsi mereka juga akan berakibat buruk pada perekonomian. Kalau ini dilakukan atau diberlakukan sama seluruh daerah, saya kira situasi yang kedua adalah, tentu saja akan banyak situasi konflik hubungan industrial yang terjadi. Karena ini kan biasanya bipatrit, ketika upah tinggi tapi perusahaan tidak memenuhi yaitu akan terjadi hubungan industrial yang tidak baik pada akhirnya. Kalau ada perusahaan yang tetap berupaya atau ngotot tidak menaikkan upah, ya akhirnya bisa terjadi PHK, dan sebagainya. Yang ini saya kira bisa berakibat ke situ. Terutama bagi misalnya tuntutan para buruh terlalu tinggi, tetapi sebenarnya sektornya itu lagi rendah. Nah itu juga berisiko seperti itu. Apalagi di tengah suplai tenaga kerja yang cukup banyak. Yang kedua berkaitan dengan situasi pemulihan itu sendiri, jadi dampaknya kalau perusahaan yang tidak memenuhi, pastilah begitu berakibat negatif bagi para pekerjanya.
Baca juga:
– Harga BBM Naik, Apa Upaya Pemerintah Melindungi Pekerja?
– Gelombang Penolakan Kenaikan Harga BBM Subsidi
Apakah kenaikan harga BBM harus jadi pertimbangan rumusan kenaikan upah? Bagaimana kira-kira hitungannya, di DKI Jakarta saja misalnya?
Kemarin, kenaikan upah sebenarnya sudah diajukan oleh Pemprov DKI Jakarta. Tetapi kan diugat oleh Asosiasi Pengusaha. Menurut saya, ya upahnya paling tidak sama dengan inflasi yang terjadi di DKI Jakarta, plus insentif dari masing-masing sektor. Nah insentif masing-masing sektor itu perlu ada bipatrit, apakah dari perwakilan dua pihak ini atau pemerintah turun tangan. Ini lagi-lagi nanti ke desain Peraturan Perundangan Menteri Tenaga Kerja soal upah bukan PP-nya tapi peraturan teknisnya. Jangan sampai justru masalahnya ada di peraturan teknis.
Editor: Fadli Gaper
Artikel ini bersumber dari : m.kbr.id.