batampos – Sepanjang tahun lalu, ada sekitar 29 ribu kasus warga negara Indonesia (WNI) di luar negari (LN) yang ditangani oleh Kementerian Luar Negeri (Kemenlu). Dari jumlah tersebut, kasus yang menyangkut pekerja migran Indonesia (PMI) perikanan dinilai paling kompleks.
Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Judha Nugraha mengaku, kasus yang melibatkan PMI perikanan yang bekerja di kapal asing paling rumit penanganannya. Misalnya, ketika berbicara soal stakeholders kapal, ternyata pihak agensi, pemilik, hingga pendaftaran kapal berasal dari negara-negara yang berbeda.
”Yang mana, ketika ada kasus, semuanya saling lepas tangan dan lempar tanggungjawab,” ujarnya.
Diakuinya, pekerjaan di bidang ini memang masuk dalam kategori 3D. Dirty, dangerous, dan difficult. Ini terjadi bahkan sejak para PMI ini diberangkatkan. Meski mayoritas berasal dari daerah pantura, kebanyakan dari mereka justru bukan nelayan. Tak ada skill memadahi, bahkan untuk basic safety training.
Menurutnya, mereka ini hanya berbekal ajakan mencari ikan di LN dan paspor untuk berangkat menuju pelabuhan-pelabuhan besar di dunia. Sayangnya, ketika tiba di sana, mereka harus menghadapi kenyataan pahit. Kapal yang akan jadi tempat mencari rezeki ternyata tak sesuai dengan yang dijanjikan. Kapal pun sudah tua dan karatan. Bahkan, ketika sudah bekerja di atas kapal, mereka dipekerjakan secara buruk.
Saat ini terjadi, tak ada pihak yang bisa dimintai tanggungjawab. Perusahaan yang memberangkatkan pun culas dengan menerapkan mekanisme “dimandirikan”. Meski berangkat lewat perusahaan, namun para PMI diminta menandatangani perjanjian yang menyarakan pemberangkatan secara mandiri. ”Sehingga kalau ada masalah, perusahaan tidak bertanggungjawab,” ungkapnya.
Hal ini diamini Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah. Menurutnya, PMI di sektor anak buah kapal (ABK) masuk jadi salah satu tiga sektor tergelap dalam migrasi.
”Sudah 77 tahun kita merdeka, kita masih menyaksikan bangsa kita jadi bangsa yang diperbudak. Yang sebagian dilakukan oleh bangsa kita sendiri,” ungkapnya.
Mirisnya lagi, lanjut dia, kasus yang menimpa abk seringkali impunitas. Kejahatan tanpa penghukuman. Tak ada akses keadilan secara penuh untuk para korban. Bahkan, ketika kasus ditangani dengan pasal tindak pidana perdagangan orang (TPPO), korban tak dapat restitusi.
Anis menilai, rantai setan ini bermulai dari tata kelola yang koruptif. Kelembagaan terkait tak memiliki koordinasi yang baik. Bukan hanya dari pihak Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), tapi juga Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), hingga BP2MI. Hal ini membuat ABK sudah bermasalah sejak sebelum berangkat. Tak ada perjanjian kerja yang standar, sehingga mereka pun takt ahu hak-haknya. ”Ini menjadi titik awal, tata kelolah yang bermasalah,” katanya.
Kondisi semakin memprihatinkan ketika sudah berada di tengah laut. Dengan potensi pelanggaran hak asasinya, tak ada pengawasan yang baik untuk mereka. Para pekerja pun tak dilatih untuk jadi bagian pengawasan. Sehingga, tak tahu apa yang harus dilakukan ketika mengalami pelanggaran atas haknya.
Menurutnya, adanya PP 22/2022 menjadi momentum untuk pembenahan menyeluruh. Roadmapnya pun sudah jelas. ”Kalau bu menteri ingin membuat aturan turunan, yasudah dibuat terang saja bisnis prosesnya,” tegasnya. (*)
Reporter: JP Group
Artikel ini bersumber dari : news.batampos.co.id.